Latar Belakang
- Kenyataan bahwa gereja-gereja di Indonesia menghadapi beragam konflik, baik internal maupun eksternal.
- Kenyataan bahwa gereja-gereja di Indonesia tidak selalu cakap mengelola konflik yang dihadapi dan menjadikan konflik sebagai kesempatan bagi perubahan positif, bahkan sering membiarkan konflik itu ‘diselesaikan’ oleh waktu.
- Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta (STFT Jakarta) telah beberapa tahun menyelenggarakan lokakarya “Transformasi Konflik & Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi” dan adanya desakan agar program serupa dikembangkan untuk jemaat dan atau warga gereja sebagai bagian dari program pengabdian masyarakat STFT Jakarta.
- Pentingnya mengorganisir para alumni lokakarya “Transformasi Konflik & Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi” yang cukup banyak dan potesial sebagai relawan (volunteer) untuk pengembangan gereja dalam kemampuan mengelola konflik.
- Perlunya sebuah lembaga yang mengembangkan program untuk membantu gereja-gereja dan lembaga-lembaga gerejawi dalam membangun kecakapan diri untuk mentransformasikan konflik dengan cara damai dan berlandaskan nilai-nilai kristiani.
‘Pusat’, karena lembaga ini lebih sebagai simpul (titik temu) berbagai pihak dalam jaringan yang berkeinginan agar gereja-gereja tumbuh dalam kemampuannya mengelola konflik. Sebagai pusat, lembaga ini merupakan juga simpul untuk konsolidasi partisipasi dan sumber daya dari jaringan dalam keragaman kapasitas.
‘Kajian’ karena lembaga ini dikembangkan sebagai sarana belajar aktif dan reflektif bagi berbagai pihak dalam pengembangan kecakapan pengelolaan konflik.
‘Mediasi’ sebagai salah satu pendekatan pengelolaan konflik, dipilih karena berfokus pada proses mediasi dan pemberdayaan. Dampak pemberdayaan itu membangun kemampuan individu dan komunitas, untuk memediasi konflik.
‘Rekonsiliasi’ merupakan proses yang penting dilakukan untuk mewujudkan transformasi, sehingga penyelesaian konflik menjadi berkat yang disyukuri.
Penyebutan Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta, karena Pusat Pembelajaran ini berada dalam lingkup pelayanan STFT Jakarta.
Visi
- Pusat yang mengintegrasikan berbagai disiplin dan atau rumpun studi secara maksimal untuk memperkaya model-model atau pendekatan dalam mediasi dan rekonsiliasi.
- Pusat yang berkontribusi dalam membangun komunitas berbasis iman (faith based community) yang mampu menerjemahkan nilai-nilai religius melalui pengelolaan dan transformasi konflik sebagai sarana pertumbuhan kehidupan komunitas yang visioner.
- Pusat yang berpartisipasi dalam mengelola dan mentransformasikan konflik-konflik komunitas berbasis iman (faith based community/FBC).
Misi
- Mengembangkan komunikasi dengan FBC dan lembaga lainnya, dengan cara menginformasikan kehadiran Pusat pelayanan ini
- Belajar bekerjasama dengan FBC dan lembaga lainnya dalam rangka mendokumentasikan kasus-kasus dan atau menuliskan ulang kasus-kasus tersebut dalam format yang dapat digunakan untuk proses pelatihan dan pembelajaran.
- Membantu FBC dan lembaga lainnya dengan menyelenggarakan lokakarya dan pelatihan mediasi serta rekonsiliasi.
- Membantu/berpartisipasi dalam mengelola dan mentransformasikan konflik-konflik komunitas berbasis iman (faith based community).
- Mengembangkan jejaring (networking) dengan lembaga-lembaga sejenis, baik di dalam negri maupun di luar negeri.
Organisasi
Ketua: Mulyadi, D.Min.
Kelompok Kerja: Dr. Kadarmanto Hardjowasito, Sabar Subekti, Didik C. Adhi Cahyana, Ali Kohar, Hidayat, dan “teman-teman dari jaringan.” Beberapa orang (5-15 orang) yang bersama Pengurus Harian/Inti merancang program tahunan, dan secara rutin memberi masukan pada Pengurus Harian untuk pengembangan program. Pokja ini bisa dibagi pada tiga fokus: (a) pengembangan bentuk-bentuk workshop dan pelatihan, (b) pengembangan dokumentasi kasus-kasus, (c) pengembangan prakarsa pedamaian dan mediasi.
Jaringan relawan: berbagai pihak, termasuk para alumni lokakarya “Pemberdayaan Untuk Rekonsiliasi,” dengan aneka ragam kapasitas yang berpartisipasi untuk pengembangan program ini.
Program
- Workshop: (a) tersedia materi dan model yang telah dikembangkan bersama mitra-mitra kerja, al.l.: Plowshares Institute, Hartfort, Connecticut, Amerika Serikat; Center For Conflict Resolution, Cape Town, Afrika Selatan; dan Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian (PPRP), (b) pengembangan materi lokal yang terus bertambah, dan kasus-kasus lokal yang juga diperkaya dari STT Jakarta, dari Gereja-gereja mitra dan pendukung STT Jakarta, dan pengembangan materi serta kasus-kasus oleh sejumlah alumni PPRP, (c) perlu pengembangan model pelatihan beserta materinya untuk proses pelatihan pendek ( ½ – 1 hari) yang bersifat pengenalan program, (d) pengembangan workshop untuk pemberdayaan para pihak dalam proses mediasi dan atau negosiasi yang efektif, (e) aktif dan berpartisipasi dalam Association of Case Teaching (ACT).
- Dokumentasi konflik dan pengelolaan konflik pada umumnya sangat terbatas, sehingga pengembangan kasus juga terhambat. Kemungkinan karena dokumentasi kasus konflik dipandang sebagai “catatan sejarah yang kelam.” Perlu upaya merintis dokumentasi konflik yang difokuskan untuk kepentingan studi dan/atau pembelajaran bagi berbagai pihak, dan bukan mendokumentasikan “catatan hitam.”
- Mengambil inisiatif (menggagas) perdamaian dan menjadi mediator merupakan program yang tidak mudah, karena menyangkut relasi dan kepercayaan para pihak. Dalam konteks ini, pusat studi minimal dapat menjadi “kawan berdiskusi” kalau bukan advisor untuk mereka yang dipercaya sebagai mediator atau pihak-pihak yang ingin serius berproses.
Center for Mediation and Reconciliation Study
Background
- Churches in Indonesia face a variety of conflicts, both internal and external.
- Churches in Indonesia are not always competent in managing conflict they face and in using conflict as opportunities for positive change to happen, even leaving conflict to be in the hopes that it will work itself out over time.
- For several years now, Jakarta Theological Seminary has held workshops in “Conflict Transformation & Empowering for Reconciliation” and in turn has received encouragement to further develop the program to be delivered to the congregation and general community as part of Seminary’s community service program.
- The importance of organizing the large number of alumni of these workshops and utilizing their potential as volunteers for developing the Churches’ and communities’ capacity in managing conflict.
- The need for an institution that develops programs to assist churches and church institutions in developing competence to transform conflict through peaceful means, founded in Christian values.
Organisational Standing
As an autonomous institution under the umbrella of Jakarta Theological Seminary and accountable to Jakarta Theological Seminary.
Office: Jakarta Theological Seminary campus, Jl. Proklamasi 27, Jakarta Pusat (10320)
Rationale behind the Name:
‘Center’ because this institution functions as a meeting point for diverse parties within the network of those desiring for churches to grow in their ability to manage conflict. As a center, this institution acts as a joint/meeting point where participation and resources are consolidated from the network in diverse capacities.
‘Study’ because this institution has been developed as a tool for active and reflective learning – as well as practical trainings for various groups in developing competencies for conflict management.
‘Conflict Transformation’ as one of the approaches to conflict management, chosen as a result of its focus on empowerment processes. The effect of empowering others builds individual and community capacity to transform conflict within and without.
‘Reconciliation’ is a process that is necessary to format the fruit of transformation so that a resolution of the conflict can be celebrated.
The mention of Jakarta Theological Seminary is because this Study Center is part of the ministry of JTS.
Vision
- To be a center that integrates multiple disciplines and/or a family of related studies is the maximum way to enrich models and approaches for to mediation and reconciliation.
- To be a center that contributes in building faith-based community (FBC) that is capable of translating religious values through managing and transforming conflict as a method of developing a visionary community life.
- To be a center that participates in managing and transforming FBC conflicts.
Mission
- To improve communication between FBC and other institutions, by informing communities of the presence of this Center.
- To learn to collaborate with FBC and other intuitions in documenting cases and/or rewriting those cases in a format that is compatible to the purpose of training and learning programs.
- To assist FBC and other institutions in organizing workshops and trainings in mediation and reconciliation.
- To help/participate in managing and transforming conflicts of FBCs and community in general.
- To develop networks with similar institutions, both in country, as well as and overseas.
Kegiatan/Program: Menyelenggarakan lokakarya “Transformasi Konflik & Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi” bagi FBC dan lembaga lain (dan mengembangkan berbagai jenis workshop yang diperlukan, mengembangkan model lokakarya yang efektif, pengembangan berbagai sarana untuk proses-proses pemberdayaan: metode-metode, penulisan kasus-kasus lokal, dan materi-materi lainnya). Membentuk pusat literatur dan dokumentasi konflik dan penyelesaian konflik dalam FBC dan lembaga lainnya sebagai kajian dan sarana pembelajaran. Mengkoordinasikan para „relawan perdamaian“ yang sudah terlatih dan memiliki kompetensi agar dapat melayani kebutuhan akan transformasi konflik dalam FBC dan lembaga lainnya secara lebih efektif. Mengambil inisiatif untuk proses perdamaian pada konflik-konflik dalam FBC atau komunitas lainnya.
Programs
- Facilitating workshops on “Conflict Transformation & Empowerment for Reconciliation” for FBC and other institutions, to develop a varieties of workshops designed based on the present needs, to develop effective workshop models for particular settings, and to develop a variety of means for empowerment process including: methods, local case writing and other materials.
- To develop a rich collection of literature documenting conflicts and their resolutions for FBC and other institutions so that it acts as a resource center and learning facility.
- Coordinating “peacebuilding volunteers“ that are already trained and equipped with certain skills and competencies so they can effectively serve the need for conflict transformationwithin FBC and other institutions and communities.
- To take initiative in peacebuilding processes within FBC or other communities in conflicts.
Organisational Roles and Responsibilities
Chair/Team Leader: Mulyadi, D.Min.
Working Group: Dr. Kadarmanto Hardjowasito, Sabar Subekti, Didik Christian A. Cahyono, Ali Kohar, Hidayat, and “friends within the network.” A number of members (5-15 people), who together with the Core Team Members plan and design the annual programs and who routinely meet as a team to provide feedback to the Core Team Members in developing the programs. This working group has three areas of focus: (a) developing workshops and trainings, (b) building a documentation of cases collecting from different part of Indonesia, rewriting the cases, and adding with teaching notes, (c) and developing new initiatives in peacebuilding and mediation.
Network of Volunteers: various parties, including workshop/training alumni, within their various capacities to develop this program.
Notes about the Program
- Workshop: (a) availability of materials and models that have been developed together with partners, including Plowshares Institute, Hartford, Connecticut, USA; Center For Conflict Resolution, Cape Town, South Africa; and the Center for Empowerment for Reconciliation and Peacebuilding/ Pusat Pemberdayaan untuk Rekonsiliasi dan Perdamaian (PPRP); (b) continual development of additional local materials, local case studies that originate from Jakarta Theological Seminar, partnering Churches and supporters of JTS, and those developed by PPRP alumni; (c) the need to develop training models and its materials to process short (half to one day) introductory training programs; (d) to develop workshops that empower relevant parties for effective mediation and/or negotiation processes; (e) participate in the Association of Case Teaching(ACT).
- Documenting conflicts and conflict management is generally very limited, so it slows down or becomes a barrier to developing case studies, possibly because documenting conflicts is understood as “documenting unwanted history.” Attempts are needed to pioneer a movement of documenting conflict that is focused on the importance of study/academics and/or learning for and form various parties, and not as documentations of “dark unwanted history”.
- To initiate (startup) peacebuilding movements and to become mediators is not an easy program to run because this involves relationships and developing the trust of various parties. In this context, the Center minimally can be a “discussion partner” if not an “advisor” for those who are entrusted to be mediators or for intentional parties wanting to process.
Hubungi Kami: Kontak: mulyadi@stftjakarta.ac.id